TUGAS
Analisis Kasus Bagaimana Upaya Agar
Bahasa Indonesia menjadi Tuan Rumah di Negara Sendiri
Ada kasus menarik yang dimuat dalam Harian Kendari Pos,
edisi Selasa, 4 Januari 2011, halaman 8, yang patut kita cermati dalam berita
yang berjudul “Wartawan Tertawa, Paspampres ‘Makan Hati’”. Kasus tersebut
berkaitan dengan pidato pemimpin tertinggi di negeri ini, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Yang menarik perhatian wartawan, termasuk penulis,
adalah penggunaan bahasa campur yang disampaikan oleh SBY pada saat meresmikan
pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta.
Menurut salah seorang Staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Firman A.D bahwa penggunaan bahasa campur tersebut terdengar lucu bagi sebagian besar wartawan tulis yang sedang meliput peristiwa tersebut sehingga mengundang suara riuh wartawan dalam forum tersebut.
Menurut pengamatan para wartawan bahwa dalam berpidato bahasa Indonesia Presiden SBY sudah terbiasa menyelipkan bahasa Inggris. Namun, dalam kasus ini dianggap sangat berlebihan dan meriah bahasa campurnya karena dalam jangka waktu sekitar tiga puluh menit, SBY menggunakan setidaknya 24 frasa bahasa Inggris. Yang menjadi pertanyaan penulis saat ini adalah apakah tujuan SBY menyelipkan frasa bahasa Inggris tersebut?
Pemakaian bahasa oleh seorang pejabat memang patut mendapat perhatian karena sebagai pemangku jabatan dalam masyarakat seharusnya dapat menjadi panutan bagi masyarakat. Apalagi saat ini penggunaan bahasa Indonesia oleh pejabat negara telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya.
Menurut salah seorang Staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Firman A.D bahwa penggunaan bahasa campur tersebut terdengar lucu bagi sebagian besar wartawan tulis yang sedang meliput peristiwa tersebut sehingga mengundang suara riuh wartawan dalam forum tersebut.
Menurut pengamatan para wartawan bahwa dalam berpidato bahasa Indonesia Presiden SBY sudah terbiasa menyelipkan bahasa Inggris. Namun, dalam kasus ini dianggap sangat berlebihan dan meriah bahasa campurnya karena dalam jangka waktu sekitar tiga puluh menit, SBY menggunakan setidaknya 24 frasa bahasa Inggris. Yang menjadi pertanyaan penulis saat ini adalah apakah tujuan SBY menyelipkan frasa bahasa Inggris tersebut?
Pemakaian bahasa oleh seorang pejabat memang patut mendapat perhatian karena sebagai pemangku jabatan dalam masyarakat seharusnya dapat menjadi panutan bagi masyarakat. Apalagi saat ini penggunaan bahasa Indonesia oleh pejabat negara telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya.
Dalam Pasal 15 disebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden dan pejabat negara lainnya menyampaikan pidato resmi dalam bahasa
Indonesia pada forum nasional yang terdiri atas dan tidak terbatas pada: forum
nasional lainnya yang menunjang pada tujuan penggunaan bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Jadi, kita bisa menilai sendiri
apakah penyampaian pidato Presiden SBY pada saat meresmikan Pembukaan
Perdagangan BEI di Jakarta termasuk resmi atau bukan.
Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa
pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan
yang dialami masyarakat. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak
orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasa lain. Dalam
perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih
senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal tersebut
memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri
bangsa. Bahasa Inggris yang telah menjadi raja sebagai bahasa internasional
terkadang memberi dampak buruk pada perkembangan bahasa Indonesia. Kepopuleran
bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat pemakaiannya.
Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia,
tidak hanya disebabkan oleh bahasa asing tetapi juga disebabkan oleh adanya
interferensi bahasa daerah dan pengaruh bahasa gaul. Dewasa ini bahasa asing
lebih sering digunakan daripada bahasa Indonesia hampir di semua sektor
kehidupan. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia lebih sering menempel ungkapan
“No Smoking” daripada “Dilarang Merokok”, “Stop” untuk “berhenti”, “Exit” untuk
“keluar”, “Open House” untuk penerimaan tamu di rumah pada saat lebaran, dan
masih banyak contoh lain yang mengidentifikasikan bahwa masyarakat Indonesia
lebih menganggap bahasa asing lebih memiliki nilai.
Cara Supaya Sikap Nasionalisme Berbahasa Indonesia Tidak
Berkurang
Saat masyarakat lebih banyak menggunakan bahasa Inggris,
maka secara langsung ataupun tidak langsung sikap nasionalisme terhadap bahasa
Indonesia/ bahasa daerah sedikit demi sedikit akan berkurang. Ada beberapa cara
supaya sikap nasonalisme berbahasa Indonesia tidak berkurang dari masyarakat
Indonesia, dan para responden telah memberikan pendapatnya seperti yang ada di
bawah ini.
Tambahan untuk pelajaran bahasa Indonesia
Tambahan pelajaran untuk pelajaran bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah akan membuat para siswa lebih dapat berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar. Selain itu siswa juga lebih dapat menguasai bahasa Indonesia.
Pelajaran bahasa daerah dihidupkan kembali
Pada saat ini, di sekolah-sekolah SMP DAN SMA sudah jarang
sekali kita temui pelajaran bahasa daerah, atau mungkin juga sudah tidak ada
pelajaran bahadsa daerah. Bahasa daerah sekarang hanya dipergunakan di Sekolah
Dasar, itupun tidak semua Sekolah Dasar ada mata pelajaran bahasa daerah.
Sehingga bahasa daerah sudah banyak digunakan.
Lebih mengutamakan bahasa Indonesia dari pada bahasa
inggris.
Masyarakat lebih mengutamakan bahasa Indonesia, lebih dapat
menguasai bahasa pemersatu bangsa Indonesia, sebelum kita belajar bahasa asing,
bahasa inggris. Sehingga bahasa Indonesia tetap menjadi yang no 1, yang utama
bagi bangsa Indonesia.
Lebih dapat mencintai bahasa Indonesia/bahasa daerah
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang telah diciptakan oleh
para putra bangsa, dan telah disepakati oleh para pahlawan-pahlawan indonesia.
Bangsa Indonesia harus lebih mencintai dan menghargai bahasa Indonesia.
Walaupun belajar bahasa asing, namun nilai-nilai budaya bahasa Indonesia/bahasa
daerah tidak boleh ditinggalkan.
Bahasa yang Baik dan Benar
Jika bahasa
sudah baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan
pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan
umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa
kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa
yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang
dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar. Jika
orang masih membedakan pendapat tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa,
perbedaan paham itu menandakan tidak atau belum adanya bentuk baku yang mantap.
Jika dipandang dari sudut itu, kita mungkin berhadapan dengan bahasa yang semua
tatarannya sudah dibakukan; atau yang sebagiannya sudah baku, sedangkan bagian
yang lain masih dalam proses pembakuan; ataupun yang semua bagiannya belum atau
tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia, agaknya termasuk golongan yang kedua.
Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan; kaidah pembentukan
kata yang sudah tepat dapat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam
kehidupan sehari-hari belum mantap.
Artikel Terkait
- Penggunaan Huruf Kapital
- Memaksimalkan Kaidah Bahasa
- Pentingnya Berbahasa Indonesia Baku
- Kesalahan Ejaan
- Nasib Kata
- Cara Berpikir Masyarakat Memengaruhi Perluasan Kosakata Bahasa Indonesia
- Kesatuan
Orang yang
mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa
pun jenisnya itu, dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Bahasanya
membuahkan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau keadaan yang
dihadapinya. Di atas sudah diuraikan bahwa orang yang berhadapan dengan
sejumlah lingkungan hidup harus memilih salah satu ragam yang cocok dengan
situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur
dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.
Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam
tawar-menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan
kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam
tawar-menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku
seperti ini.
(1)
Berapakah Ibu mau menjual bayam ini?
(2) Apakah Bang Becak bersedia mengantar saya ke Pasar Tanah Abang dan berapa ongkosnya?
(2) Apakah Bang Becak bersedia mengantar saya ke Pasar Tanah Abang dan berapa ongkosnya?
Contoh di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang
baku dan benar, tetapi tidak baik dan tidak efektif karena tidak cocok dengan
situasi pemakaian kalimat-kalimat itu. Untuk situasi seperti di atas, kalimat
(3) dan (4) berikut akan lebih tepat.
(3) Berapa nih, Bu, bayemnya?
(4) Ke Pasar Tanah Abang, Bang. Berapa?
(4) Ke Pasar Tanah Abang, Bang. Berapa?
Sebaliknya,
kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa seperti "ini
hari" merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para
makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupakan bahasa yang benar
karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.
Karena itu,
anjuran agar kita "berbahasa Indonesia dengan baik dan benar" dapat
diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping
itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan "bahasa Indonesia yang
baik dan benar" mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi
persyaratan kebaikan dan kebenaran.
Judul buku
|
: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga
|
Penulis
|
: Hasan Alwi, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan
Anton M. Moeliono
|
Penerbit
|
: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, Jakarta 2003
|
Halaman
|
: 20 – 21
|
0 komentar:
Posting Komentar